Refleksi Bangun Pagi

Minggu, 09 Desember 2012


Aku dalam proses penciptaan, aku ingin mencipta sebuah cerita, dari apa yang kupikirkan semuanya. Aku senang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memberiku kesempatan untuk memusingkan pembaca tulisanku ke makna tersembunyi yang bahkan aku sendiri pun tak pernah bayangkan. Bahasa Indonesia bahkan ----konon katanya--- telah dinobatkan sebagai bahasa terindah di dunia, bersandingan dengan bahasa kota mimpi, bahasa Paris, bahasa Prancis.

Dengan ini aku mau memulai semuanya, dengan kata yang terketik seketika. Terbetik sekenanya. Suara adzan membawaku ke peringatan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Aku disini berusaha terus konsentrasi mengetik, mengetik, dan mengetik. Aku ingin mencipta cerita. Aku membutuhkan bantuan Tuhan, aku memerlukan bantuan alam, aku membutuhkan semua bantuan yang bisa aku dapatkan… Bel berbunyi.. bel berbunyi.. darimana dia berasal, apa yang dia panggil…? Atau siapa…?

Disinilah aku, terdampar dalam sebuah khayalan akan cerita tentang kuaci berhadiah. Tentang seorang laki-laki bangkrut yang menemukan hadiah dalam bungkusan kuaci 1000 Rupiah. Jadi dia bernama Torent, Torent Noakat. Jika betul nanti kisah Torent Noakat ini akan jadi cerita, aku ingin sampul bukunya nanti berjudul “……..”, uwahhh… susah sekali memikirkan sebuah judul untuk sebuah cerita yang akupun belum tahu pasti. Tapi setidaknya aku bisa meraba-raba seperti apa kisah ini akan bermula..

“Aku pusing, sudah lama sekali aku berjalan. Semua bangunan disini tentu memiliki banyak perbedaan, tapi entah kenapa, dimataku semua ini sama saja. Langkahku layu dan gontai, sama sekali tak seperti 4 tahun lalu ketika aku baru menginjakkan kaki ke tanah ini.

Aku sekarang tak bertempat tinggal, aku tak punya rumah. Tepatnya, aku tak lagi punya tempat untuk pulang, beristarahat dan merasa aman di tanah ini. Tidak! Aku bukan orang miskin, meski aku sama sekali tak keberatan dicap seperti itu, aku tak pernah protes dicap seperti apa, itu salah satu keistimewaanku yang membuat aku bisa sampai kaya. Itulah faktanya, aku sama sekali tidak miskin. Sekarang saja, di tasku ada ber gepok-gepok uang rupiah pecahan 100ribu dan pecahan lainnya. Bukan pecahan kaca atau plastick maksudku pecahan rupiah. Tolong jangan buat aku tersinggung. Aku mungkin rela di cap miskin atau melarat, atau bodoh, atau apapun, tapi aku tidak mau dibilang bertata bahasa aneh. Itu salah satu yang membuatku bisa sampai menggelandang seperti ini.

Aku kaya. Di dompetku ada beberapa kartu ATM atau kartu Kredit dengan isi tidak sedikit. Tapi sayangnya sama sekali tidak bisa aku sentuh, jika aku ingin terus bebas menghirup udara di luar penjara. Aku buronan. Tepatnya aku dicari polisi seluruh Indonesia. Sedikit lebih lama lagi, aku akan dicari polisi seluruh dunia. Seperti itulah perkiraanku, aku tidak mau mengambil resiko dengan memperlonggar kewaspadaanku. Aku lapar. Aku ingin makan. Sudah lama aku tidak makan nasi. Dengan jumlah rupiah yang ada di tanganku, aku bisa makan dimana saja, berapapun. Tapi sekali lagi, aku tak suka menghirup udara dari dalam penjara. Aku benci penjara. Itu hal yang umum, banyak orang benci penjara. Aku salah satunya saja. Tak ada yang istimewa.

Sekarang kau mungkin bisa melihat seperti apa situasiku. Tapi situasiku tidak segawat yang kau pikir. Situasi ini agak sedikit rumit. Baik! Aku akan mengaku! Situasi ini memang tak bisa kujelaskan karena aku pun tak tahu apa yang sebenarnya tejadi.!

Tiba-tiba rasa lapar ini menjadi sangat mendesak. Aku ingin makan, aku lapar, aku lapar! Mataku jelalatan mencari sesuatu yang bisa dimakan. Heran, mungkin karena pusing, aku tak melihat bangunan apapun yang menjual makanan. Aku mengucek mataku, menampar-nampar pipiku, memanggil kesadaranku untuk kembali dan membantuku mencari makanan. “Ayolah! Apa saja!”. Yang kudapati malah pandanganku semakin buram. Gawat! Aku tak mau pingsan disini! Ini khalayak umum. Maksudku ini keramaian. Maksudku! Aku akan dengan sangat mudah tertangkap polisi jika pingsan disini! Ketakutan-ketakutan dan pemikiran berat ini malah mempercepat proses semaputku. Tepat ketika aku telah berlutut paksa, seperti ditekan oleh tangan maha raksasa, sebuah suara cempreng nan tak enak didengar menyelusup “Kuaci bang? Kuaci? Mau kuaci bang? Beli kuaci bang??”.

Kuaci. Ahh! Itu sejenis makanan! Tiba-tiba suara cempreng jelek itu bertransformasi sekejap menjadi denting harpa surgawi. “Kuaci bang?” Harapanku terkumpul, semua konsentrasiku kukerahkan untuk membeli kuaci. Bahkan sejenak mungkin aku merasa telah menghentikan proses pemompaan darah dan pemompaan udara demi mengumpulkan tenaga sisa sebisa-bisanya. “Boleh..” aku tak tahu suara seperti apa yang keluar dari mulutku waktu mengatakan ini, mungkin sejenis suara arwah yang hampir ditanam di liang kubur, tapi ekspresi penjual kuaci tampak biasa saja. “Mau yang berapa bang? Yang seribu? 2 ribu?” Aku tengah dalam proses-hidup mati-mencari uang kecil.

Seribu rupiah! Luar biasa! Ada uang pecahan seribu rupiah di tasku! “Yang seribu aja.” Kali ini pandangan si penjual kuaci berubah aneh. Mungkin karena aku mengatakan itu seperti ingin meneken tanda jadi pembelian sebuah benua utuh, lengkap dengan para penduduknya. Entahlah. Segera setalah transaksi kecil yang luar biasa ini selesai. Penjual kuaci itu pergi. Tak kuperhatikan dia kemana, aku terfokus pada bungkusan kuaci ditanganku. Proses pembukaan bungkus kuaci, lalu pengupasan kuaci, berlangsung hikmat dan seakan abadi. Tapi proses pemakanan, penelanan dan pengolahannya luar biasa! Singkat, satu kata, “sekejap”. Aku berusaha makan kuaci dengan senormal mungkin, bersandar di sebuah pohon, aku tampak sperti orang-orang biasa, seperti seorang yang sedang membawa tas, berpakaian normal dan berjalan-jalan biasa. Tapi jika kau memperhatikan aku disitu. Kau akan melihatku bergetar hebat, seperti kesetrum. Seakan-akan yang kusandari ini bukan pohon, tapi tiang listrik. Mungkin ini terjadi karena proses metabolism tubuhku sedang melakukan perang.

Di tengah proses makan kuaci yang dahsyat ini, aku tiba-tiba tersentak melihat kedalam bungkusan kuaci. Aku sebenarnya sempat heran tadi, kenapa bungkusan kuaci ini begitu berat? Ternyata ini alasannya. Kuaci yang kubeli ini ada hadiahnya. Aku mengangkat hadiah kuaci itu, aku ingin menerawangnya dibawah matahari. Tapi  tidak ada gunanya, kunci tidak bisa diterawang. Ya… dari dalam kuaci seribu rupiah ini aku mendapatkan hadiah sebuah kunci. Tepatnya sebuah kunci mobil."

Dan, Kisah Torent Noakat berlanjut.

Tidak ada komentar:

 

Popular Posts

Tags

Akun (1) blegok (6) Catatan luka (36) DerapLangkah (11) gemes (1) Giyatta (7) Giyatta!! (3) HujanDeras (9) IN-g-AT (13) Kacau (31) KAYLA (3) LucuB (5) Mimpi (8) Minat n pengen (11) Naskah (7) Pesan (5) Puisi (4) salute (5) Sejuta hidup Sehari (45) Serius dikit (11) Shadowlight (16) SuPistik (6) tapi gak bakat (4) Ups (5) Wisata (7)

Ketikkan Saja