Hidup Ini Hanya Sementara
Minggu, 26 Juli 2015
It Was A Wrong book, Mate
Senin, 13 April 2015
Jika menulis adalah mengikat makna, membaca adalah menemukannya. Dan kukira kaulah buku yang tertulis untukku, sebuah buku yang akan kurawat sepenuh hati, kusampul dan takkan kupinjamkan pada siapapun, takkan bosan kubaca hingga berkali-kali. Darimu akan kutulis beribu karya indah tak terperi, karena kau adalah kristal makna yang takkan habis dicacah, takkan selesai dibagi, takkan sempurna dipetakan, kaulah maha makna untukku. Lalu tiba-tiba buku itu menutup setiba-tibanya. Seakan tak pernah dulu buku itu terbuka walau sehalaman, tak pernah untukku. Mendebulah semua makna itu, hilang. Karena hatiku ini rapuh dan lemah dan plin plan. Tak bisa kugenggam, ternyata, pasir makna yang berjuta-juta darimu. Kau menjelma jadi sejuta asteroid di luar angkasa. Mengawang tak berbeban meski sarat massa jika kau masuk ke orbit lingkar gravitasiku. Hai bidadari yang keluar dari kamus tujuh bahasa dan sastra pelangi tujuh warna, kenapa begini jadinya?
Sebuah buku tergolek, diam tak melakukan apa-apa. Tak ada yang tertarik untuk membacanya, tak ada yang tertarik mengikat makna darinya, tak ada yang menganggap ada sesuatupun yang bisa ditulis darinya. Kini kucoba menerka-nerka, jika aku jadi kau. Jika aku jadi Kamu, lalu bagaimanakah terlihatnya aku dari mata Kamu? Apakah sebuah bayangan yang ada tapi tak perlu dianggap ada? Atau debu yang ke-ada-annya selalu siap jadi tapi bisa pula dikebas seketika dan menghilang. Atau hanya sekedar sebuah ada yang menuntut diperhatikan tapi tak penting untuk dirawat dan disayangi, ada yang membingungkan dan mengganggu tapi tak cukup mengganggu untuk diatasi serius. Aku sedang menjadi Kamu, dan yang kulihat hanya seorang laki-laki dewasa tanpa masa depan yang lucu dan menyedihkan. Tapi diatas semua itu, dari mata Kamu kulihat seorang laki-laki LAINNYA. Tak ada yang istimewa, tak ada yang spektakuler, tak ada yang menarik, tak ada, normal dan biasa-biasa saja, bahkan aneh dan cenderung menjijikkan. Laki-laki di depanku ini bau. Bau tak enak yang mengernyitkan hidung, merindingkan bulu kuduk, dihindari orang-orang. Segera aku jadi aku lagi.
Tapi kita takkan pernah tahu kan? Seseorang harus membuka buku itu membacanya. Hei, apa yang ada di dalamnya? Mungkin memang tak ada apa-apa disana, hanya sebuah buku kosong bersampul mentereng yang dilupakan seseorang tanpa sengaja, atau orang itu memang tak peduli pada buku ini. Bisa jadi juga ada sesuatu yang sangat menarik disana, ada tulisan dari seseorang yang tiba-tiba kita merasa mengenalnya. Dan semua orang mulai penasaran. Hei, apa isi buku itu? Ketika semua orang mulai mendekati buku itu. Melihatnya lebih baik. Orang-orang itu menyadari buku itu milik seseorang. Orang itu teman mereka. Mereka menghubungi orang itu. Orang itu datang dan melihat buku itu. Ya, itu bukuku, katanya. Tak ada yang mau kuberi buku ini? Dia bertanya. Tak ada yang mengangkat tangan, awalnya. Lalu satu tangan terangkat, lalu dua. Buku ini buku tua, katanya. Antik, katanya. Takkan kuberi siapa-siapa, katanya, tersenyum miring
Ya sudahlah, kita semua orang baru disini kan? Ayo pulang. Buku itu? Buku itu milik dia.
>>>>>>
Sekian
Salam Selalu
Aku Temannya Budi
Senin, 24 November 2014
Aku pernah punya kawan, kawanku baik hatinya. Namanya Budi. Budi baik sekali. Dia suka menolong orang, diapun senang mengajarkanku cara mengerjakan pe er. Budi pintar sekali. Aku senang berteman dengan Budi. Budi juga senang berteman denganku. Budi bilang aku kawan yang baik, karena pernah memberinya buah kelapa. Padahal itu aku hanya memanjat saja. Juga kata Budi, karena aku sering memberikan dia ikan. Padahal aku hanya memancing saja. Ikan itu lalu dibakar oleh ibu Budi. Aku diajak makan bersama, rasanya enak sekali. Aku juga suka ibu Budi. Ibu Budi pintar memasak.
Nama ibu Budi adalah Aminah. Selain jago memasak, Ibu Budi juga pandai menjahit. Semua baju Budi, Bu Aminah yang jahit, kata Budi. Jahitannya bagus sekali. Aku juga mau dijahitkan baju sama Bu Aminah. Tapi aku malu mau bilang sama Bu Aminah. Ibu Aminah juga pandai bermain piano. Bunyi piano merdu sekali. Aku sering diajaknya bernyanyi. Kata Bu Aminah suaraku bagus. Setelah bermain piano dengan Bu Aminah, aku pulang ke rumahku.
Di rumahku ada ayah dan adek. Ibu sedang di pasar bersama kakak. Ayah sedang menulis, adek bermain penggaris dan pulpen. Ibuku memang suka berjualan, sehingga sekarang sudah memiliki toko yang lumayan besar di pasar sana. Kakakku senang berhitung dan memerintah orang-orang, tapi dia pintar menyuruh, sehingga yang disuruh tak merasa diperintah dan senang saja menurut. Kakakku menyuruh-nyuruh orang-orang yang bekerja di pasar ibu tentunya. Uang yang kami dapat dari toko, kata ayah dan kakak, sedikit saja. Karena ibuku sangat baik. Dia senang sekali memberi sana sini hasil penjualan dari toko sepulangnya dari pasar, sebelum sampai ke rumah. Aku senang ibu begitu. Orang yang baik disayang Tuhan, kata ayah. Aku senang ibuku disayang Tuhan. Orang yang disayang Tuhan pasti bahagia, kata ayah.
Ayahku senang menulis, sudah banyak kulihat ada buku yang ditulis ayah, sering kulihat nama ayah di toko buku. Sering lama lama aku tak sengaja berdiri di depan rak toko buku yang ada buku Ayah nya. Aku senang, seperti mau terbang, seperti balon yang membesar. Ayah bilang itu namanya bangga, katanya sambil menangis. Aku bertanya kenapa ayah menangis? Ayah bilang dia sangat senang karena aku bangga melihat nama ayah. Aku tak mengerti, kenapa senang koq malah menangis? Tapi yang aku tahu aku akan selalu bangga pada Ayah, pasti.
Adikku pintar sekali, mungkin lebih pintar dari budi. Sudah pasti adikku lebih pintar dari aku. Tapi dia tidak pandai memanjat dan memancing. Aku pikir aneh, kenapa orang sepintar adikku tak pintar pula memanjat dan memancing. Mungkin dia malas saja belajar memanjat dan memancing. Dia lebih senang berhitung dan membaca. Meski kulihat lebih banyak berhitungnya. Kakakku juga senang berhitung, tapi beda. Kakakku senang menghitung jumlah beras, garam, menetega dan gula. Sedangkan adik lebih senang menghitung tinggi gunung, rumah, luas rumah dan soal soal matematika yang kelihatannya susah sekali. Pernah kutanya Budi tentang itu, lalu kata Budi itu....... kulkas? Semacam itu, aku lupa. Tapi satu yang paling ayah ibu senangi dari kami. Kami pintar mengaji!
Aku masih ingat, waktu khatam jus 30 kemarin, aku dibelikan martabak! Aku senang sekali. Kubagi martabak pada adik, kakak dan Amon, setelah kupisahkan bagian untukku yang lebih banyak. Amon itu nama pembantu kami. Dia baik juga rajin. Diantara kami, kakak yang paling pandai mengaji. Kalau kakak mengaji, aku berhenti main gasing, adik melepas pulpen dan penggaris, ibu berhenti menghitung barang, ayah berhenti menulis. Barulah setelah kaka selesai mengaji, semua kembali seperti semula. Amon yang tadinya cuma berdiri bengong sambil memegang gagang sapu juga jadi kembali menyapu. Aku senang mendengar kakak mengaji. Aku mau pandai mengaji seperti kakak. Kalau sudah malam, kami semua pergi tidur. Meski kalau sudah di kasur, kadang aku sulit tidur. Banyak sekali yang mau kulakukan besok.
>>>>>
Sekian
Salam Selalu