Rahasia Yang Menyedihkan

Jumat, 31 Oktober 2014

Dunia yang menyedihkan. Ada rahasia yang tersimpan di dunia yang menyedihkan ini. Tentang seseorang yang melihat kenyataannya. Seseorang yang tertolak dari terang, dan memilih terus berjalan dalam gelap. Ada banyak hal yang mau diceritakan meski tak pantas. Ada banyak kenyataan yang perlu diketahui meski tak menyenangkan.

Orang itu, yang duduk di kursi didepan sana, aku tak mengenalnya, tapi aku merasa sedih melihatnya. Seorang bapak bapak seperti itu apa yang dia lakukan disitu disamping dosen kami? Kenapa dia tak mengajar di kelasnya sendiri jika dia dosen? Kenapa dia tidak di tokonya jika dia pengusaha? Apa yang dia lakukan disini? Apa dia tak punya pekerjaan lain? Akankah aku seperti itu juga? Jujur saja, aku tidak mau.

Pada kenyataannya, aku juga tidak berhak berharap yang muluk muluk, misalnya mau jadi keren kaya raya dan terkenal. Dengan kemalasan yang belum berhasil kuusir, aku bahkan layak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih hina. Bisa saja kau temukan aku meringkuk di depan emperan toko minggu depan, atau di bawah kolong jembatan di surabaya satu bulan kemudian.

Rasa stress memang kutanggapi dengan cara yang keliru, sudah sejak lama. Hasilnya malah berlipat ganda, stress itu berkembang dalam diriku secara membabi buta. Aku bingung dan linglung, tak tahu mau melakukan apa. Hal baik memang aku tahu banyak, tapi selalu saja aku lari, tak mau mengaku. Lari menuju peristirahatan sementara, melenakan dan membutakan, menyenyakkan dan meng alpakan. Tapi kuakui dalam pelarian selama apapun takkan ditemui kedamaian, ketenangan. Yang hadir cuma gelisah setia menemani, khawatir berkepanjangan, momok.

Dari titik sumpahku kubuat hingga kini, belum juga aku menyongsong terang, entah kenapa. Mungkin karena rasa malu dan bersalah, dari kesalahan yang terlanjur kulakukan dan tak bisa kuhapus kejadiannya, pun tak bisa hinggi kini kulupa rasanya. Kesalahan yang membuatku merasa telah mengganggu hidup orang orang. Semoga dia mau memaafkan kebodohan dan kelancangan ini.

Salam Selalu.

Kupenuliskah

Kamis, 30 Oktober 2014

Mungkin akan hanya aku yang terus mengenang seorang Iqbal Saja sebagai penulis.

Lahir dalam sebuah keluarga sebagai anak tertua atau pertama, catatan hidupku datar saja. Kalaupun ada beberapa dalam hidupku yang kalian tahu istimewa itu tak lain hanyalah kehebatan kedua orang tuaku dan ridha allah semata. Bahwa aku bisa pergi ke maroko dan dibeasiswa selama setahun disana, hanya sekolahku yang hebat dan menunjukku sebagai wakil. Singkatnya dari apa yang kulakukan tak ada yang begitu luar biasa, maka jarang kubangga banggakan apa yang pernah terjadi padaku. Pun jika kalian dapati ada hal hal istimewa dalam tulisan tulisanku ini, maka aku bersyukur pada Allah Swt. Karena sejujurnya, sejauh ingatanku, aku hanya mau mengaku diri sebagai penulis. Menjadi penulis yang karyanya dibaca dan menginspirasi banyak orang sudah menjadi mimpi yang menghantuiku sejak kecil.

Dari kecil, sejak tahu cara membaca, aku sudah mulai berusaha membaca banyak hal. Masih ingat aku, bagaimana ayahku membuat sebuah buku dengan tulisan tangannya sendiri agar aku mengenal huruf dan penggunaannya dalam susunan kata. Beliau tulis dalam sebuah notes sederhana, yang kerap kita lihat dipakai wartawan tempo lama. Yang ituloh, yang kalau mau membuka halaman selanjutnya, maka caranya adalah membuka kertas ke atas bukan kesamping. Maka setiap melihat notes seperti itu, selalu hinggap padaku rasa akrab yang mendalam. Setiap melihat notes seperti itu, sadarlah aku, Ayahku jauh di dalam hatiku adalah pahlawan besar. Buku itu dulunya selalu kubawa bawa kemanapun, masanya ialah sebelum masuk sd klas 1. Jadi aku sudah mengenal abjad sebelum masuk sd, lengkap dengan cara bacanya, penyambungannya. Saat itu aku belum sadar, kalau aku sedang jatuh cinta. Jatuh pada dunia baca tulis.

Waktu berselang, tahun berlalu. Banyak hal berubah, notes itu sudah tak tahu entah dimana, tertinggal di kenangan, 17 tahun lalu. Tapi cintaku pada baca tulis tak berubah, malah semakin tergila-gila. Di sd, majalah Tiko, bobo, beberapa komik dan koran koran kubaca sangat sering. Dan disana itu saja aku melampiaskan rasa, komik, majalah, koran, dan beberapa cerpen di buku pelajaran sekolah. Kadang saat sedang sendirian dan tak ada yang mau dilakukan, aku mulai membuka buku dan mengambil pulpen, menggambar sesuka hati. Anak kecil mana yang tak suka menggambar? Tapi waktu kecil aku pernah mengarang sebuah lagu. Judulnya Cinta Putih. Kala itu, aku sendiri yang punya konsep lagu begitu sehingga rasanya konyol sekali, sekarang pasti sudah banyak lagu judul begitu.

Semasa smp lah dia menjumpaiku, Sebuah Novel. Berlatar peristiwa WTC yg ditabrak pesawat, novel tipis ini, bahkan sangat tipis sebenarnya, mengisahkan sepasang kasih yang terpisah karena si lelaki wafat pada kejadian itu. Membacanya, merasakan luka sang gadis, perjuangannya dalam membuka hati yang terlanjur mati, penerimaannya pada hati yang baru. Dan aku hanyut begitu saja. Setelah menutup halaman terakhir novel itu, saya tahu saya mau buat yang seperti ini juga! saya mau buat yang beginian!

Sejak itu aku menjadi pembaca setia novel-novel apa saja yang kusuka. Tak ada genre khusus, selama bisa membawaku hanyut, aku suka. Dan ternyata menulis tak semudah membaca. Perlu tekad, kepercayaan diri yang tinggi, mental yang tangguh. Kesemuanya itu aku tak bisa miliki sepenuh waktu. Kadang aku ya, kadang aku tidak. Jika sedikit saja masalah datang, langsung aku kalah dan melemah, lalu menyerah. Sudah ada puluhan naskah. Tapi yang kumulai selalu tak bisa kulanjutkan. Seperti sebuah kutukan yang lengket tak mau lepas.

Kutukan yang agaknya juga menghujani aspek hidupku yang lain. Kuliah setengah setengah, cinta yang melemah loyokan, tugas yang dikerjakan seadanya, hidup yang serba tidak maksimal dalam usaha. Meringkuk dalam rasa malu. Meringkuk dalam rasa kalah. Meringkuk dalam rasa bersalah. Meringkuk saat marah. Meringkuk, berbaring, melemah.

Aku tidak punya rencana, cuma selembar harapan usang, beberapa doa, dan sebuah sumpah. Kegelapan mengelilingi sedikit cahaya terang. Aku berjalan dan terlelap. Aku lelah dan berbaring. Aku malu dan bersalah. Aku hina dan berdosa. Tapi aku berdoa, semoga besok jadi lebih baik.

Salam selalu

Tak Ada Jurang Tanpa Dasar

Selasa, 28 Oktober 2014



“Tak ada jurang tanpa dasar, Nak”. Begitu kata orang bijak. Tapi bagaimana kalau mereka keliru? Bagaimana kalau jurang tanpa dasar itu memang ada. Bagaimana kalau ternyata kata-kata itu hanya hadir untuk menjamin sebuah kenyamanan palsu?

Mungkin kata-kata bijak seperti itu tak pernah ada, namun kata-kata itu yang terpikirkan di kepalaku saat memikirkan ini, “Jatuh tanpa henti”.. dan untuk lebih jelasnya, yang kumaksud adalah “Jatuh cinta tanpa henti”. Bukan gagasan yang terlalu manis, kau tahu? Tak seromantis yang kau pikirkan!. Pemikiran aneh dan ngawur ini muncul setelah aku menonton episode terakhir Avatar, The legend Of Korra Chapter Two. Disitu diperlihatkan adegan tatap muka Korra dan Mako yang membahas tentang putusnya hubungan tali cinta antara mereka. Hubungan kita ini takkan berhasil, tapi kita akan saling mencintai selamanya. Betapa mengerikannya.

Seperti orang yang jatuh kedalam sebuah jurang dan tak pernah menyentuh dasar. Kasarnya, aku lebih memilih mati hancur terhempas di dasar jurang, atau patah tulang, atau tertusuk bebatuan runcing dibawah sana daripada harus terus mengambang dalam sebuah ruang hampa. “Jatuh tanpa henti”. Kurasa sensasi yang kurang lebih sama akan terasa saat kau mencintai seseorang tanpa henti, saat kau tahu dia juga mencintaimu juga… tapi takkan pernah satu. Satu detail yang kulupakan. Dalam kasus ini kita bukan mengawang di ruang hampa, atau mengarah ke jurang kosong menganga, melainkan melihat dasar tapi tak pernah mencapainya. Karena ini bukan cinta bertepuk sebelah tangan, ini tepuk dua tangan yang tak pernah bertemu.

Dalam kasusku sendiri, aku tak pernah menjadi pihak aktif yang meninggalkan kekasihnya. Selalu mereka yang meninggalkanku lebih dulu. Dan jujur aku belum melupakan apa-apa, seperti menaruh sebuah bola kaca baru di tempat yang penuh dengan bola kaca lain. Aku hanya menambah stok perasaan baru tanpa bisa benar-benar menghapus perasaan sebelumnya. Aku hanya menambah nama dan peristiwa tanpa sempat menghapus nama dan peristiwa lama. Otakku telah kuformat secara tak sadar untuk meletakkan secara khusus hal-hal seperti ini. Peristiwa tentang cinta, di kepalaku, merekat seperti alteco.

Sekarang aku sedang dekat dengan seseorang bernama Nawu, mungkin hanya aku yang merasakan, tapi aku mulai memperhatikan dia lebih, aku naksir padanya. Tapi aku menyadari keadaanku yang belum bisa sepenuhnya bergerak dari kisah dan perasaan pada orang-orang terdahulu. Jadi aku lebih memilih diam menunggu, memperhatikan tanpa terlalu menarik perhatian. Aku bukan lagi Iqbal yang sama sebelum mengenal perasaan yang banyak orang katakan cinta. Banyak yang berubah dari caraku berhubungan dengan orang, bersosialisasi dengan yang lain. Tapi satu yang tak pernah berubah dari prinsip ku “Aku tak pernah mau menyakiti mereka”. Tapi malah menyakiti semua, karena sikap plin-plan ku ini.

Ah.. Kuharap nanti bisa ketemu Avatar The Legend Of Korra, Chapter Three… Supaya aku tahu, apa yang selanjutnya terjadi antara Mako dan Korra. Apakah memang ada jurang yang dasarnya tak tergapai, selama apapun kita jatuh? Atau jawabannya akan datang menemuiku, lebih dulu dari itu.?

Salam Selalu.
 

Popular Posts

Tags

Akun (1) blegok (6) Catatan luka (36) DerapLangkah (11) gemes (1) Giyatta (7) Giyatta!! (3) HujanDeras (9) IN-g-AT (13) Kacau (31) KAYLA (3) LucuB (5) Mimpi (8) Minat n pengen (11) Naskah (7) Pesan (5) Puisi (4) salute (5) Sejuta hidup Sehari (45) Serius dikit (11) Shadowlight (16) SuPistik (6) tapi gak bakat (4) Ups (5) Wisata (7)

Ketikkan Saja