Saat itu aku sedang berjalan. Motor matic yang selalu setia menemaniku terparkir tak jauh di belakang sana, kehabisan bensin. Kuparkir sesukaku di pinggir jalan setelah lelah kudorong beberapa lama, jika ada polisi yang iseng-iseng lewat dan melihat motorku begitu, sudah pasti aku ditilang, sim ditahan, stnk ditahan, motor ditahan. Biarlah, lagipula aku tak punya rencana kembali kesitu. Jadi jika kelak diantara kalian ada polisi, atau pelaku curanmor yang menemukan motor itu, terserahlah mau kalian apakan motor itu, kuikhlaskan. Angkut saja.
Sambil terus berjalan entah kemana, aku tertunduk menatap aspal
dibawahku. Dulu di SD, nilai-nilai raportku termasuk diatas rata-rata, meski
jarang ranking 1 prestasiku termasuk gemilang. Terbukti dari seringnya si
ranking 1 (dan teman sekelas lainnya---SEMUANYA) menyontek PRku, menyontek
ujianku, bahkan menyontek catatanku. Kejadian seperti ini tak berhenti di sd,
tapi terus berlanjut ke SMP, lalu SMA. Akhirnya aku tak tahan, mulai naik SMA
kelas dua aku memaksa diriku BERHENTI PINTAR, aku mulai berusaha bodoh. Tapi
ternyata sulit juga, karena sejak dahulu aku memang sudah malas belajar, namun
tetap saja aku pintar. Apa yang harus kulakukan ya supaya cepat bodoh?
Petualanganku untuk menjadi orang bodoh pun dimulai.
Aku mulai bermain di kelas saat penerimaan materi, aku perlahan
menyeringkan bolos, aku mulai rajin main ps, sampai di puncaknya aku menyontek
dalam 90% ujianku. Oh, jangan kau tanya, Saat itu aku begitu bangga! Tak bisa
kulupakan tatapan kagum teman-temanku saat terpana melihat caraku menyontek.
Karena tak seperti mereka yang semalaman membuat kertas contekan, aku tanpa
basa-basi dan bertele-tele membuka buku catatan bahkan kadang buku cetak, di
tengah ujian, dalam mencari jawaban. Semua ini sejauh pengetahuanku, tanpa
tetangkap oleh guru manapun. Aku PUAS! Tapi tidak untuk waktu yang lama.
Saat kuperhatikan susunan angka di raportku, kekecewaan maha besar
menguasaiku. Membuatku mengumpat dalam hati sekeras-kerasnya. Ternyata
nilai-nilaiku juga tak jauh di atas rata-rata. Sementara nilai para pecontek
lain melambung tinggi diatas sana. Aku muak! Dan akhirnya aku memaki-maki
sejadi-jadinya melihat betapa orang lain yang nilainya berada di bawah garis
rata-rata malah terlihat bahagia dan puas, bahkan saat memegang raportnya. Entah
kenapa. Sudahlah, aku menyerah jadi orang bodoh, ternyata jadi orang bodoh
memang sulit. I quit from being STUPID. Namun jalan garis takdir
menampakkan tanduknya, aku sepertinya terlambat menyadarinya. Terlambat sadar
dari kebodohan.
Hari berlalu mengganti minggu, minggu berlalu mengganti bulan, bulan
berlalu mengganti tahun dan aku masuk kuliah. Ternyata usahaku waktu sma
kemarin untuk jadi orang bodoh terlampau keras, sehingga hasil usahaku itu
terukir keras jauh dalam sanubariku, aku telah menjadi orang yang berisi BODOH!
Kelas perkuliahan jadi nampak memuakkan setelah beberapa kali dilalui, meski
tentu awalnya aku sempat begitu bergairah. Nampaknya memang seperti itu untuk
semua mahasiswa baru. Aku tak tahan! Lari ke tempat ps, warnet dan tempat karaokean
jadi pilihan utama. Tugas-tugas yang hadir kukerjakan suka-suka, sistem copy
paste sudah pasti jadi jalan utama. Malam-malam begadang tak jelas diluar rumah
mewarnai hari-hariku. Dan tentu tiba hari-hari bolos kuliah. Maka cerita aku
yang menetap dalam rumah sakit kebodohan kembali bergulir kencang. Tapi bukan
cuma itu berita buruknya. Sudah kubilang tadi kan? Aku punya Motor MATIC.
Berulang kali jatuh dari motor karena suka kebut-kebutan sepertinya
lebih melukai hati orang tuaku daripada tubuhku. Tentu, mereka menasihati
sebisa mungkin, dengan cara sebaik mungkin. Namun sudah dasarnya bodoh, aku tak
terlalu peduli, sedikit sesal tentu hadir ketika melihat mata ibu berkca-kaca,
tapi ketika angin jalanan menggelitik wajahku, tak bisa kutahan tangan kananku
untuk memutar gas lebih kencang. Kaca spion hanya ada untuk menangkal gangguan
polisi, fungsinya sudah terlupakan. Rem tak bisa berbuat banyak manakala jarak
dan kecepatan begitu tak seimbang, kecelakaan demi kecelakaan terus berlanjut.
Dan pada saat bersamaan, jauh di lubuk hati kusadari, masa depan kuliahku
terancam.
Nampaknya Tuhan memang Maha Tahu. Salah satu buktinya, dia tahu
kegalauan yang melandaku. Dalam salah satu rapat yang kuhadiri, yang diadakan
oleh perkumpulan jurusanku, terjadi keajaiban. Entah setan atau malaikatkah
yang dikirim Tuhan waktu itu, intinya aku kesurupan. Aku yang saat itu hanya
hadir dalam fungsi meramaikan, alias cuma pengikut rapat minor, malah berperan
aktif dalam menyampaikan usul dan saran, dan---gilanya----juga kritik. Tak
dinyana lagi, aku dipilih jadi ketua kegiatan itu. Ampun! Merasa sudah
melaksanakan tugasnya, setan atau malaikat yang tadi merasukiku pergi dan
mengembalikan kesadaran orang bodoh, entitas sementaraku saat itu yang langsung
berteriak; CILAKA 13! Tapi aku tak cukup gentleman untuk menarik kembali
semua kata-kataku tadi dan meminta mereka membatalkan penempatanku sebagai
ketua. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur, sudah dikecapi pula, makanlah!
Sepanjang persiapan yang berlangsung kurang lebih sebulan, otakku
seperti dipelintir dan diperas. Tak sadar aku mulai sering ke kampus yang
otomatis membuatku sering menghadiri kuliah. Karena ini kegiatan kampus, maka
secara tak disengaja dan mau tak mau, hubunganku dengan dosen kembali
diperbaiki. Semua urusan tentang transportasi, sertifikat dan lain-lain
menyibukkan aku dan teman-temanku sehingga tak ada waktu ke tempat ps, warnet,
apalagi karaokean. Kecuali tentu untuk beberapa urusan aku harus ke warnet,
tapi hanya itu. Titel baruku sebagai Ketua Kegiatan membuatku hampir gila. Ya,
ketika persiapan telah seperempat berjalan aku mengundurkan diri, yang
mengundang protes keseluruhan dari semua yang terlibat. Namun syukurlah bukan
hanya protes yang kutuai dari kejadian pengunduran diri itu, tapi juga sumpah
setia mereka akan sepenuh tenaga membantu. Ini kurang lebih memberiku amunisi
baru. Aku kembali maju.
Setelah semua rangkaian kegiatan ini selesai, terasa ada yang berubah
dariku. Kuliah tidak menjadi kembali menarik, tapi rasanya salah kalau
melewatkannya. Intinya kebodohanku perlahan sembuh. Namun sepertinya Tuhan juga
Maha Ikut Campur, nampaknya dia belum selesai denganku. Kali ini aku
betul-betul disuruh meninggalkan diriku. Aku terpilih untuk berkuliah setahun
di luar negeri. Sensasinya seperti nyawa yang dicabut paksa dan dipindah ke
tubuh orang lain. Setahun di luar negeri bersama orang-orang yang betul-betul
berbeda kembali membawaku ke tahapan renungan yang selanjutnya. Apa itu orang
pintar? Apa itu orang bodoh? Mana yang lebih baik? Mana yang akan bertahan?
Mana yang bahagia?
Pertanyaan ini kubawa pulang sampai tanah air dalam keadaan belum juga
terjawab. Kuliah kembali terasa membosankan, namun dengan alasan yang sama
sekali bukan kemalasan. Justru aku sekarang merasa membuang-buang waktuku dalam
kelas, dengan mengikuti perkuliahan aku merasa bodoh. Apakah bukan kebodohan
ketika kita beradu argumen dengan menyajikan 3 teori yang persis sama akar dan
tujuannya? Dan untuk mengejar sarjana? Sarjana apa!? Aku sekarang terlampau
muak, melebihi sebelum-sebelumnya. Gas motorku yang kencang kini kembali
menemukan defenisinya, dialah luapan emosiku yang berlebih. Pencair kebosanan
yang telah berlarut-larut. Tempatku lari dari topeng-topeng palsu penipu dan
pecontek.
Maka ketika akhirnya bensinku habis dan motorku tak mau lagi berjalan.
Tak perlu lagi kutengok dompet atau kantongku, adakah uang disana untuk mengisi
bensin. Aku hanya mau terus diterpa angin, terus bergerak, terus berpindah,
jalan kakipun cukup untuk itu. Sepatu pantofel bututku menghantam keras aspal
dibawahku, yang tak juga mencair sekeras dan selama apapun aku menatapnya.
Keringat mengalir deras di bawah terpaan matahari, tasku terasa berat di
punggungku tapi langkahku terasa ringan, sangat ringan. Aku terasa terbang.
Nampaknya Tuhan memang Maha Cerewet... Semilir angin panas jalanan seperti
berbisik keras-keras; "Kau Bebas!".
Makassar
Kamis. 13 maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar