Aku dalam proses penciptaan, aku ingin mencipta sebuah cerita, dari
apa yang kupikirkan semuanya. Aku senang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
memberiku kesempatan untuk memusingkan pembaca tulisanku ke makna tersembunyi
yang bahkan aku sendiri pun tak pernah bayangkan. Bahasa Indonesia bahkan
----konon katanya--- telah dinobatkan sebagai bahasa terindah di dunia,
bersandingan dengan bahasa kota mimpi, bahasa Paris, bahasa Prancis.
Dengan ini aku mau memulai semuanya, dengan kata yang terketik
seketika. Terbetik sekenanya. Suara adzan membawaku ke peringatan untuk
memenuhi panggilan Tuhan. Aku disini berusaha terus konsentrasi mengetik,
mengetik, dan mengetik. Aku ingin mencipta cerita. Aku membutuhkan bantuan
Tuhan, aku memerlukan bantuan alam, aku membutuhkan semua bantuan yang bisa aku
dapatkan… Bel berbunyi.. bel berbunyi.. darimana dia berasal, apa yang dia
panggil…? Atau siapa…?
Disinilah aku, terdampar dalam sebuah khayalan akan cerita tentang
kuaci berhadiah. Tentang seorang laki-laki bangkrut yang menemukan hadiah dalam
bungkusan kuaci 1000 Rupiah. Jadi dia bernama Torent, Torent Noakat. Jika betul
nanti kisah Torent Noakat ini akan jadi cerita, aku ingin sampul bukunya nanti
berjudul “……..”, uwahhh… susah sekali memikirkan sebuah judul untuk sebuah
cerita yang akupun belum tahu pasti. Tapi setidaknya aku bisa meraba-raba
seperti apa kisah ini akan bermula..
“Aku pusing, sudah
lama sekali aku berjalan. Semua bangunan disini tentu memiliki banyak
perbedaan, tapi entah kenapa, dimataku semua ini sama saja. Langkahku layu dan
gontai, sama sekali tak seperti 4 tahun lalu ketika aku baru menginjakkan kaki
ke tanah ini.
Aku sekarang tak
bertempat tinggal, aku tak punya rumah. Tepatnya, aku tak lagi punya tempat
untuk pulang, beristarahat dan merasa aman di tanah ini. Tidak! Aku bukan orang
miskin, meski aku sama sekali tak keberatan dicap seperti itu, aku tak pernah
protes dicap seperti apa, itu salah satu keistimewaanku yang membuat aku bisa
sampai kaya. Itulah faktanya, aku sama sekali tidak miskin. Sekarang saja, di
tasku ada ber gepok-gepok uang rupiah pecahan 100ribu dan pecahan lainnya.
Bukan pecahan kaca atau plastick maksudku pecahan rupiah. Tolong jangan buat
aku tersinggung. Aku mungkin rela di cap miskin atau melarat, atau bodoh, atau
apapun, tapi aku tidak mau dibilang bertata bahasa aneh. Itu salah satu yang
membuatku bisa sampai menggelandang seperti ini.
Aku kaya. Di dompetku
ada beberapa kartu ATM atau kartu Kredit dengan isi tidak sedikit. Tapi
sayangnya sama sekali tidak bisa aku sentuh, jika aku ingin terus bebas
menghirup udara di luar penjara. Aku buronan. Tepatnya aku dicari polisi
seluruh Indonesia. Sedikit lebih lama lagi, aku akan dicari polisi seluruh
dunia. Seperti itulah perkiraanku, aku tidak mau mengambil resiko dengan
memperlonggar kewaspadaanku. Aku lapar. Aku ingin makan. Sudah lama aku tidak
makan nasi. Dengan jumlah rupiah yang ada di tanganku, aku bisa makan dimana
saja, berapapun. Tapi sekali lagi, aku tak suka menghirup udara dari dalam
penjara. Aku benci penjara. Itu hal yang umum, banyak orang benci penjara. Aku
salah satunya saja. Tak ada yang istimewa.
Sekarang kau mungkin
bisa melihat seperti apa situasiku. Tapi situasiku tidak segawat yang kau
pikir. Situasi ini agak sedikit rumit. Baik! Aku akan mengaku! Situasi ini
memang tak bisa kujelaskan karena aku pun tak tahu apa yang sebenarnya tejadi.!
Tiba-tiba rasa lapar
ini menjadi sangat mendesak. Aku ingin makan, aku lapar, aku lapar! Mataku
jelalatan mencari sesuatu yang bisa dimakan. Heran, mungkin karena pusing, aku
tak melihat bangunan apapun yang menjual makanan. Aku mengucek mataku,
menampar-nampar pipiku, memanggil kesadaranku untuk kembali dan membantuku
mencari makanan. “Ayolah! Apa saja!”. Yang kudapati malah pandanganku semakin
buram. Gawat! Aku tak mau pingsan disini! Ini khalayak umum. Maksudku ini
keramaian. Maksudku! Aku akan dengan sangat mudah tertangkap polisi jika
pingsan disini! Ketakutan-ketakutan dan pemikiran berat ini malah mempercepat
proses semaputku. Tepat ketika aku telah berlutut paksa, seperti ditekan oleh
tangan maha raksasa, sebuah suara cempreng nan tak enak didengar menyelusup “Kuaci
bang? Kuaci? Mau kuaci bang? Beli kuaci bang??”.
Kuaci. Ahh! Itu
sejenis makanan! Tiba-tiba suara cempreng jelek itu bertransformasi sekejap
menjadi denting harpa surgawi. “Kuaci bang?” Harapanku terkumpul, semua konsentrasiku
kukerahkan untuk membeli kuaci. Bahkan sejenak mungkin aku merasa telah
menghentikan proses pemompaan darah dan pemompaan udara demi mengumpulkan
tenaga sisa sebisa-bisanya. “Boleh..” aku tak tahu suara seperti apa yang
keluar dari mulutku waktu mengatakan ini, mungkin sejenis suara arwah yang
hampir ditanam di liang kubur, tapi ekspresi penjual kuaci tampak biasa saja. “Mau
yang berapa bang? Yang seribu? 2 ribu?” Aku tengah dalam proses-hidup
mati-mencari uang kecil.
Seribu rupiah! Luar
biasa! Ada uang pecahan seribu rupiah di tasku! “Yang seribu aja.” Kali ini
pandangan si penjual kuaci berubah aneh. Mungkin karena aku mengatakan itu
seperti ingin meneken tanda jadi pembelian sebuah benua utuh, lengkap dengan para penduduknya. Entahlah. Segera
setalah transaksi kecil yang luar biasa ini selesai. Penjual kuaci itu pergi.
Tak kuperhatikan dia kemana, aku terfokus pada bungkusan kuaci ditanganku.
Proses pembukaan bungkus kuaci, lalu pengupasan kuaci, berlangsung hikmat dan
seakan abadi. Tapi proses pemakanan, penelanan dan pengolahannya luar biasa! Singkat,
satu kata, “sekejap”. Aku berusaha makan kuaci dengan senormal mungkin,
bersandar di sebuah pohon, aku tampak sperti orang-orang biasa, seperti seorang
yang sedang membawa tas, berpakaian normal dan berjalan-jalan biasa. Tapi jika
kau memperhatikan aku disitu. Kau akan melihatku bergetar hebat, seperti
kesetrum. Seakan-akan yang kusandari ini bukan pohon, tapi tiang listrik.
Mungkin ini terjadi karena proses metabolism tubuhku sedang melakukan perang.
Di tengah proses makan
kuaci yang dahsyat ini, aku tiba-tiba tersentak melihat kedalam bungkusan
kuaci. Aku sebenarnya sempat heran tadi, kenapa bungkusan kuaci ini begitu
berat? Ternyata ini alasannya. Kuaci yang kubeli ini ada hadiahnya. Aku
mengangkat hadiah kuaci itu, aku ingin menerawangnya dibawah matahari. Tapi tidak ada gunanya, kunci tidak bisa
diterawang. Ya… dari dalam kuaci seribu rupiah ini aku mendapatkan hadiah
sebuah kunci. Tepatnya sebuah kunci mobil."
Dan, Kisah Torent Noakat berlanjut.
Dan, Kisah Torent Noakat berlanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar